Mungkin ini hal menyeramkan untuk diceritakan. Ya, aku pernah berjam jam berdiri di atas besi besi penghubung gerbong kereta yang satu dengan yang lainnya dengan berjubel orang lalu lalang, pedagang asongan yang tak kenal lelah menjajakan barang dagangannya tak henti henti melintas di depan pandanganku yang jantungnya berdegup aneh ketakutan karena sedang berada di atas besi besi penghubung gerbong ini. Aku tidak pernah membayangkan berada di atas gerbong seperti yang dilakukan beberapa penumpang gelap yang terpaksa melakukan itu karena finansial mereka. Tak mungkin kondektur menagih tiket di atas gerbong kan, begitu pikir mereka pikirku.
Pengalaman tak mendapat kursi ala kadarnya di kereta ekonomi bukan hanya cerita kecil tersimpan di benak belaka. Tapi dari situ aku tahu kondisi bangsa ini, bangsa kereta ekonomi, rakyat kita. Aku mengamati orang orang di kereta ekonomi adalah kebanyakan rakyat kita. Kereta ekonomi ini adalah miniatur Indonesia mini. Orang orang ini memiliki berbagai kepentingan mikroekonomi di atas gerbong gerbong kereta ekonomi. Harga tiket sudah cukup untuk merepresentasikan kondisi finansial mereka yang berkelas ekonomi. Anak anak kecil menjerit, menangis karena suasana tak bersahabat bagi mereka di dalam kereta ekonomi. Tapi apa daya ibu ibu mereka hanya bisa menenangkan mereka dan ayah ayah mereka menopang kepala di atas tangan kanannya menandakan berpikir, "Kapan ini akan berakhir? Kereta ekonomi ini?"
Kereta ekonomi juga sama dengan miniatur kegiatan ekonomi rakyat kelas bawah kita. Pedagang asongan yang aku hormati semangat mereka dalam bekerja. Tak kenal lelah menyeimbangkan irama badan mereka dalam menjajakan barang dagangan dengan goncangan kereta serta padatnya gerbong gerbong dengan orang berbagai kepentingan.Aku senang melihat mereka bekerja. Jauh lebih senang melihat mereka bekerja kerja keras daripada memikirkan apa yang dilakukan pejabat kita. Tapi aku sedih setiap saat menyaksikan kenyataan anak anak kecil yang bekerja, mengemis, meminta minta dengan ratapan penuh keluh kesah bekerja di usia mereka. Juga para orang orang tua yang sudah sepuh. Tak seharusnya mereka bekerja di sini. Biarlah mereka yang di usia usia kerja yang menghadapi kenyataan sebagai bangsa Kereta Ekonomi.
Ketika perusahaan yang bertanggung jawab dengan perkereta apian di Indonesia mengeluarkan kebijakan baru, tak ada lagi berdiri tak dapat tempat di antara besi besi penghubung gerbong, tak ada lagi penumpang di atap gerbong, tak ada lagi pedagang asongan. Bagaimana nasib bangsa kereta ekonomi itu?

Orlando, 2011. We are "Laskar Nusantara" (picture by: Afshan Javid,our friend from India)
Saturday, August 18, 2012
Friday, August 17, 2012
Homeless Cat ( Kucing Jalanan )
Sudah nggak ingat kapan terakhir kali keluarga pelihara ayam
kampuang, eh kampung :p. Tapi masih ingat dulu pernah rumahku sering kedatangan
anak kecil, anak muda, abg, anak tua, eh orang dewasa :p bertujuan mau beli telor
puyuh atau kadang beli burung puyuhnya sekalian.Dulu rumahku itu masih sering
bocor dan harus siap siap puluhan ember untuk menampung air yang tak
diharapkan. Kadang tidurpun tak nyenyak dengan kondisi seperti itu but
alhamdulillah i have a home sweet home :). Bisinis burung puyuh ayah terhenti
setelah kandang burung puyuh diserang seekor kobra jahat berbisa yang membunuh
puyuh puyuh bisnis ayahku :(
Sejak saat itu kami tidak memelihara binatang apapun. Orang
tua cuma memelihara kami bertiga anak anak mereka yang siap meraih cita cita
pengubah nasib keluarga dan bangsa. Singkat cerita, meski tidak pernah lagi
pelihara binatang peliharaan, nggak jarang rumahku unofficially
terinvasi oleh oleh binatang liar seperti cicak, kodok, aligator (baca: kadal besar),
ular (lagi) dan kucing. Nggak perlu diragukan lagi karena rumahku memang mewah
alias mepet sawah kalo orang orang menyindirnya. Tak jarang teras rumah
terinvasi oleh kotoran kotoran ayam bagai ranjau ketika hendak melintas keluar
rumah jangan sampai lengah karena sekali lengah aku harus ke kamar mandi
bersihiin kaki dari ranjau ranjau tahi ayam. Tetanggaku banyak yang pelihara
ayam dan ayam ayamnya sangat suka hang out di teras rumah dan menyisakan ranjau
ranjau organik berbau itu.
Malam malam terdengar suara seperti anak kecil tapi lama
kelamaan terdengar seperti suara hewan bukan manusia. jelas saja malam malam
setengah sadar mendengar kucing bertengkar di malam hari seperti mendengar
tangisan bayi misterius (horor). Forget it. Kucing seringkali bernasib sial.
Hewan ini seharusnya bertipe pet atau hewan peliharaan, tapi sayang
hewan kesukaan Nabi Muhammad ini sering hidup sia sia dicampakkan keluarga
asuhnya. Siapa yang ngga tega ngeliat ratapan mata kucing yang nggak pernah
hepi. Mereka melas. Berbanding lurus dengan kebanyakan nasib mereka. Tapi
kucing yang beruntung, disayang sayang pemiliknya diberi kemewahan.
Rumahku sering terinvasi oleh kucing kucing jalanan ini.
Sekedar mampir dan memberi ratapan penuh kemelasan itu mereka mengais sisa sisa
makanan yang ada di dapur. Atau jika beruntung mereka mendapatkan makanan fresh
keluarga kami sehingga balik kami yang meratap ke kucing :p. Nggak hanya di
Indonesia saja, ketika aku tinggal setahun di USA, di basement apartemen ayah
angkat buleku di sana, terdapat keluarga kucing jalanan yang mencari kehangatan
dan menyambung hidup. Sering ayah angkatku mampir dan aku pun menyaksikan
ratapan kucing Amerika Serikat, memberi makan dan say hello sebelum beliau ke
kantor dan aku pergi ke sekolah. Dan yang paling aku khawatirkan adalah ketika
musim dingin yang menusuk itu bagaimana nasib kucing kucing jalanan itu? Aku
bahkan tak sanggup lagi menyaksikan ratapannya. Semoga mereka bertahan. Semakin
miris karena salah satu diantara kucing kucing itu ada yang berkaki tiga...
semoga bisa mengambil hikmah dari tulisan ini. tulisan
pertamaku di tahun 2012 setelah satu tahun lebih vakum. thanks for reading :)
Subscribe to:
Posts (Atom)
Saturday, August 18, 2012
Bangsa Kereta Ekonomi
Mungkin ini hal menyeramkan untuk diceritakan. Ya, aku pernah berjam jam berdiri di atas besi besi penghubung gerbong kereta yang satu dengan yang lainnya dengan berjubel orang lalu lalang, pedagang asongan yang tak kenal lelah menjajakan barang dagangannya tak henti henti melintas di depan pandanganku yang jantungnya berdegup aneh ketakutan karena sedang berada di atas besi besi penghubung gerbong ini. Aku tidak pernah membayangkan berada di atas gerbong seperti yang dilakukan beberapa penumpang gelap yang terpaksa melakukan itu karena finansial mereka. Tak mungkin kondektur menagih tiket di atas gerbong kan, begitu pikir mereka pikirku.
Pengalaman tak mendapat kursi ala kadarnya di kereta ekonomi bukan hanya cerita kecil tersimpan di benak belaka. Tapi dari situ aku tahu kondisi bangsa ini, bangsa kereta ekonomi, rakyat kita. Aku mengamati orang orang di kereta ekonomi adalah kebanyakan rakyat kita. Kereta ekonomi ini adalah miniatur Indonesia mini. Orang orang ini memiliki berbagai kepentingan mikroekonomi di atas gerbong gerbong kereta ekonomi. Harga tiket sudah cukup untuk merepresentasikan kondisi finansial mereka yang berkelas ekonomi. Anak anak kecil menjerit, menangis karena suasana tak bersahabat bagi mereka di dalam kereta ekonomi. Tapi apa daya ibu ibu mereka hanya bisa menenangkan mereka dan ayah ayah mereka menopang kepala di atas tangan kanannya menandakan berpikir, "Kapan ini akan berakhir? Kereta ekonomi ini?"
Kereta ekonomi juga sama dengan miniatur kegiatan ekonomi rakyat kelas bawah kita. Pedagang asongan yang aku hormati semangat mereka dalam bekerja. Tak kenal lelah menyeimbangkan irama badan mereka dalam menjajakan barang dagangan dengan goncangan kereta serta padatnya gerbong gerbong dengan orang berbagai kepentingan.Aku senang melihat mereka bekerja. Jauh lebih senang melihat mereka bekerja kerja keras daripada memikirkan apa yang dilakukan pejabat kita. Tapi aku sedih setiap saat menyaksikan kenyataan anak anak kecil yang bekerja, mengemis, meminta minta dengan ratapan penuh keluh kesah bekerja di usia mereka. Juga para orang orang tua yang sudah sepuh. Tak seharusnya mereka bekerja di sini. Biarlah mereka yang di usia usia kerja yang menghadapi kenyataan sebagai bangsa Kereta Ekonomi.
Ketika perusahaan yang bertanggung jawab dengan perkereta apian di Indonesia mengeluarkan kebijakan baru, tak ada lagi berdiri tak dapat tempat di antara besi besi penghubung gerbong, tak ada lagi penumpang di atap gerbong, tak ada lagi pedagang asongan. Bagaimana nasib bangsa kereta ekonomi itu?
Pengalaman tak mendapat kursi ala kadarnya di kereta ekonomi bukan hanya cerita kecil tersimpan di benak belaka. Tapi dari situ aku tahu kondisi bangsa ini, bangsa kereta ekonomi, rakyat kita. Aku mengamati orang orang di kereta ekonomi adalah kebanyakan rakyat kita. Kereta ekonomi ini adalah miniatur Indonesia mini. Orang orang ini memiliki berbagai kepentingan mikroekonomi di atas gerbong gerbong kereta ekonomi. Harga tiket sudah cukup untuk merepresentasikan kondisi finansial mereka yang berkelas ekonomi. Anak anak kecil menjerit, menangis karena suasana tak bersahabat bagi mereka di dalam kereta ekonomi. Tapi apa daya ibu ibu mereka hanya bisa menenangkan mereka dan ayah ayah mereka menopang kepala di atas tangan kanannya menandakan berpikir, "Kapan ini akan berakhir? Kereta ekonomi ini?"
Kereta ekonomi juga sama dengan miniatur kegiatan ekonomi rakyat kelas bawah kita. Pedagang asongan yang aku hormati semangat mereka dalam bekerja. Tak kenal lelah menyeimbangkan irama badan mereka dalam menjajakan barang dagangan dengan goncangan kereta serta padatnya gerbong gerbong dengan orang berbagai kepentingan.Aku senang melihat mereka bekerja. Jauh lebih senang melihat mereka bekerja kerja keras daripada memikirkan apa yang dilakukan pejabat kita. Tapi aku sedih setiap saat menyaksikan kenyataan anak anak kecil yang bekerja, mengemis, meminta minta dengan ratapan penuh keluh kesah bekerja di usia mereka. Juga para orang orang tua yang sudah sepuh. Tak seharusnya mereka bekerja di sini. Biarlah mereka yang di usia usia kerja yang menghadapi kenyataan sebagai bangsa Kereta Ekonomi.
Ketika perusahaan yang bertanggung jawab dengan perkereta apian di Indonesia mengeluarkan kebijakan baru, tak ada lagi berdiri tak dapat tempat di antara besi besi penghubung gerbong, tak ada lagi penumpang di atap gerbong, tak ada lagi pedagang asongan. Bagaimana nasib bangsa kereta ekonomi itu?
Friday, August 17, 2012
Homeless Cat ( Kucing Jalanan )
Sudah nggak ingat kapan terakhir kali keluarga pelihara ayam
kampuang, eh kampung :p. Tapi masih ingat dulu pernah rumahku sering kedatangan
anak kecil, anak muda, abg, anak tua, eh orang dewasa :p bertujuan mau beli telor
puyuh atau kadang beli burung puyuhnya sekalian.Dulu rumahku itu masih sering
bocor dan harus siap siap puluhan ember untuk menampung air yang tak
diharapkan. Kadang tidurpun tak nyenyak dengan kondisi seperti itu but
alhamdulillah i have a home sweet home :). Bisinis burung puyuh ayah terhenti
setelah kandang burung puyuh diserang seekor kobra jahat berbisa yang membunuh
puyuh puyuh bisnis ayahku :(
Sejak saat itu kami tidak memelihara binatang apapun. Orang
tua cuma memelihara kami bertiga anak anak mereka yang siap meraih cita cita
pengubah nasib keluarga dan bangsa. Singkat cerita, meski tidak pernah lagi
pelihara binatang peliharaan, nggak jarang rumahku unofficially
terinvasi oleh oleh binatang liar seperti cicak, kodok, aligator (baca: kadal besar),
ular (lagi) dan kucing. Nggak perlu diragukan lagi karena rumahku memang mewah
alias mepet sawah kalo orang orang menyindirnya. Tak jarang teras rumah
terinvasi oleh kotoran kotoran ayam bagai ranjau ketika hendak melintas keluar
rumah jangan sampai lengah karena sekali lengah aku harus ke kamar mandi
bersihiin kaki dari ranjau ranjau tahi ayam. Tetanggaku banyak yang pelihara
ayam dan ayam ayamnya sangat suka hang out di teras rumah dan menyisakan ranjau
ranjau organik berbau itu.
Malam malam terdengar suara seperti anak kecil tapi lama
kelamaan terdengar seperti suara hewan bukan manusia. jelas saja malam malam
setengah sadar mendengar kucing bertengkar di malam hari seperti mendengar
tangisan bayi misterius (horor). Forget it. Kucing seringkali bernasib sial.
Hewan ini seharusnya bertipe pet atau hewan peliharaan, tapi sayang
hewan kesukaan Nabi Muhammad ini sering hidup sia sia dicampakkan keluarga
asuhnya. Siapa yang ngga tega ngeliat ratapan mata kucing yang nggak pernah
hepi. Mereka melas. Berbanding lurus dengan kebanyakan nasib mereka. Tapi
kucing yang beruntung, disayang sayang pemiliknya diberi kemewahan.
Rumahku sering terinvasi oleh kucing kucing jalanan ini.
Sekedar mampir dan memberi ratapan penuh kemelasan itu mereka mengais sisa sisa
makanan yang ada di dapur. Atau jika beruntung mereka mendapatkan makanan fresh
keluarga kami sehingga balik kami yang meratap ke kucing :p. Nggak hanya di
Indonesia saja, ketika aku tinggal setahun di USA, di basement apartemen ayah
angkat buleku di sana, terdapat keluarga kucing jalanan yang mencari kehangatan
dan menyambung hidup. Sering ayah angkatku mampir dan aku pun menyaksikan
ratapan kucing Amerika Serikat, memberi makan dan say hello sebelum beliau ke
kantor dan aku pergi ke sekolah. Dan yang paling aku khawatirkan adalah ketika
musim dingin yang menusuk itu bagaimana nasib kucing kucing jalanan itu? Aku
bahkan tak sanggup lagi menyaksikan ratapannya. Semoga mereka bertahan. Semakin
miris karena salah satu diantara kucing kucing itu ada yang berkaki tiga...
semoga bisa mengambil hikmah dari tulisan ini. tulisan
pertamaku di tahun 2012 setelah satu tahun lebih vakum. thanks for reading :)
Subscribe to:
Posts (Atom)