Orlando, 2011. We are "Laskar Nusantara" (picture by: Afshan Javid,our friend from India)

Thursday, January 8, 2015

Sepenggal Kisah Dari Sudut Kota Mataram

Mataram, beragam. Begitu besar rasa sukur yang harus kita panjatkan kepada Tuhan karena memberikan tanah air Indonesia yang begitu kaya. Benar-benar kaya dalam berbagai aspek. Dalam Alam, dan dalam manusianya. 5 Agustus 2014 tepat beberapa minggu setelah lebaran dan bertepatan pula libur panjang dari perkuliahan, saya memutuskan untuk "backpacking" sendirian dengan rute Jawa-Bali-Lombok-Sumbawa. Dengan restu orang tua, sekaligus diantar ayah dan ibu ke terminal Tawang Alun Jember (kampung halaman saya) saya memulai perjalanan menuju pulau Dewata, Bali. Selalu senang tiap kali mengunjungi Bali. Suasana tradisi Hindu yang begitu kental mampu menyadarkan kita betapa kaya bangsa ini dengan budaya lokalnya. Pantas saja Bali masih selalu menjadi destinasi utama wisatawan lokal dan luar negeri karena keindahannya yang komplit. 

Selama dua hari saya berada di Bali, menumpang ke sana kemari, berpindah angkutan umum ini dan angkutan umum yang itu mengantarkan saya ke tujuan selanjutnya yaitu Pelabuhan Padang Bai untuk kemudian menaiki kapal Ferry selama 4 jam menuju pulau Lombok. Dalam perjalanan menuju pelabuhan Padang Bai saya bertemu dengan dua orang backpacker dari Polandia yang selama perjalanan asik mengobrol dengan saya tentang Indonesia. Lumayanlah bisa berbagi informasi dengan sesama petualang. 

Akhirnya sekitar pukul 15.00 WITA saya resmi masuk kapal Ferry dan berharap-harap cemas, senang, penasaran, bisa menyeberangi salah satu selat dengan ombak besar di Indonesia dengan durasi perjalanan yang lama pula. Saya mencari-cari kursi untuk duduk di kapal dan menaruh tas keril 60 liter saya. Seorang bapak menawari saya tempat duduk dan akhirnya saya memutuskan duduk bersama dua orang bapak-bapak dan bergabung dengan obrolan hangat yang sedang berlangsung. Akhirnya kami berkenalan. Bapak yang satu bernama pak Brata, orang asli Bali namun bekerja dan tinggal di Mataram, Lombok. Yang satu lagi bernama pak Imam, orang asli Lombok namun bekerja di Bali dan sedang pulang kampung di Lombok. Dari sini saya terharu dan takjub, ada dua orang dengan budaya dan asal yang berbeda saling bepergian dan menarik melihat asal dan tempat mereka bekerja. Itulah Indonesia, yaitu suku-suku yang saling bertemu dan berpindah di berbagai tempat di nusantara. 

Obrolan yang berlangsung pun cukup menarik baik tentang budaya di Lombok dan Bali, tentang politik, bahkan tentang rektor saya yang santer diisukan jadi menteri pun juga kita bahas dan mereka berdua tau. Hingga pada akhirnya mereka juga tau tujuan saya dalam perjalanan ini untuk mengunjungi lombok, sumbawa dan diakhiri dengan mengibarkan bendera merah putih 17 Agustus di puncak Rinjani, Lombok. Pak Brata menawarkan kepada saya untuk bermalam di rumahnya karena ketika tiba di Lombok, hari sudah gelap dan akan susah untuk mencari angkutan ke Gili Trawangan. Maka langsung saya terima tawaran itu. Lalu saya bersama pak Brata naik angkutan ke Mataram dan kita berpisah dengan pak Imam yang melanjutkan perjalanan ke Lombok Timur. Kita sudah saling bertukar kontak untuk menjaga tali silaturahmi.

Rumah pak Brata berada di pinggiran kota Mataram. Dia mempunyai bengkel di dekat rumahnya di pinggir jalan raya. Kami sampai di rumah pak Brata menjelang Isya. Banyak anjing berkeliaran dan cukup berisik karena tau kita sedang berjalan menuju rumah pak Brata. Kami di sambut oleh anjing-anjing di kampung tersebut. Melihat kondisi kampung tempat tinggal pak Brata, ada hal yang menarik yaitu kampung ini terdiri komunitas Muslim dan pemeluk Hindu dan rumah mereka berjajar dan berdampingan. Satu rumah muslim, sebelahnya rumah pemeluk Hindu dengan pura di halaman depan rumahnya. Lalu terdapat surau untuk orang Islam melakukan ibadah salat. Saya bermalam di teras depan rumah pak Brata. Sudah cukup bagi petualang seperti saya. Kami menghabiskan malam dengan berbincang bersama Pak Brata, Istri dan anak sulungnya yang kuliah di Universitas Mataram. Keluarga pak Brata pemeluk agama Hindu, namun di Mataram, Islam dan Hindu hidup berdampingan dan rukun. Seperti yang pak Brata bilang, di masjid kampungnya, pada saat itu hari jumat dan bertepatan dengan hari raya nyepi. Maka ketika biasanya umat muslim melakukan salat jumat dengan suara nyaring speaker masjid untuk menyiarkan khutbah, pada hari jumat yang bertepatan dengan hari raya nyepi itu masjid tidak mengeraskan suara speakernya untuk menghormati umat Hindu yang sedang merayakan nyepi. Keesokan hari, di pagi hari, pak Brata mengantarkan anaknya yang bungsu pergi sekolah. Pada saat itu hari jumat dan si bungsu mengenakan pakaian adat hindu. Kata pak Brata tiap hari jumat sekolah dasar di Mataram muridnya mengenakan pakaian adat. Yang Hindu mengenakan busana adat Hindu, yang Muslim mengenakan baju muslim.

Sungguh perjalanan saya cukup menyadarkan saya betapa kaya Indonesia dengan keberagaman kekayaan dan keberagamaan kebudayaan yang dimilikinya. Pada momen itu, saya yakin, bahwa nilai pluralisme yang menjadi karakter Indonesia yang semestinya, mampu secara akar rumput diterapkan di berbagai daerah di Indonesia seperti di Mataram, di kampung pak Brata di mana Islam dan Hindu sangat rukun dalam menjalani kehidupannya masing-masing. Bertolakbelakang dengan apa yang terjadi di daerah lain di Indonesia bahkan di Jakarta yang masih sering terjadi kebencian di antara umat beragama. Saya optimis, kedepannya Indonesia mampu menjadi bangsa plural yang memahami arti perbedaan dan keberagaman demi kesatuan NKRI. Hidup bangsa Indonesia! 

Thursday, January 8, 2015

Sepenggal Kisah Dari Sudut Kota Mataram

Mataram, beragam. Begitu besar rasa sukur yang harus kita panjatkan kepada Tuhan karena memberikan tanah air Indonesia yang begitu kaya. Benar-benar kaya dalam berbagai aspek. Dalam Alam, dan dalam manusianya. 5 Agustus 2014 tepat beberapa minggu setelah lebaran dan bertepatan pula libur panjang dari perkuliahan, saya memutuskan untuk "backpacking" sendirian dengan rute Jawa-Bali-Lombok-Sumbawa. Dengan restu orang tua, sekaligus diantar ayah dan ibu ke terminal Tawang Alun Jember (kampung halaman saya) saya memulai perjalanan menuju pulau Dewata, Bali. Selalu senang tiap kali mengunjungi Bali. Suasana tradisi Hindu yang begitu kental mampu menyadarkan kita betapa kaya bangsa ini dengan budaya lokalnya. Pantas saja Bali masih selalu menjadi destinasi utama wisatawan lokal dan luar negeri karena keindahannya yang komplit. 

Selama dua hari saya berada di Bali, menumpang ke sana kemari, berpindah angkutan umum ini dan angkutan umum yang itu mengantarkan saya ke tujuan selanjutnya yaitu Pelabuhan Padang Bai untuk kemudian menaiki kapal Ferry selama 4 jam menuju pulau Lombok. Dalam perjalanan menuju pelabuhan Padang Bai saya bertemu dengan dua orang backpacker dari Polandia yang selama perjalanan asik mengobrol dengan saya tentang Indonesia. Lumayanlah bisa berbagi informasi dengan sesama petualang. 

Akhirnya sekitar pukul 15.00 WITA saya resmi masuk kapal Ferry dan berharap-harap cemas, senang, penasaran, bisa menyeberangi salah satu selat dengan ombak besar di Indonesia dengan durasi perjalanan yang lama pula. Saya mencari-cari kursi untuk duduk di kapal dan menaruh tas keril 60 liter saya. Seorang bapak menawari saya tempat duduk dan akhirnya saya memutuskan duduk bersama dua orang bapak-bapak dan bergabung dengan obrolan hangat yang sedang berlangsung. Akhirnya kami berkenalan. Bapak yang satu bernama pak Brata, orang asli Bali namun bekerja dan tinggal di Mataram, Lombok. Yang satu lagi bernama pak Imam, orang asli Lombok namun bekerja di Bali dan sedang pulang kampung di Lombok. Dari sini saya terharu dan takjub, ada dua orang dengan budaya dan asal yang berbeda saling bepergian dan menarik melihat asal dan tempat mereka bekerja. Itulah Indonesia, yaitu suku-suku yang saling bertemu dan berpindah di berbagai tempat di nusantara. 

Obrolan yang berlangsung pun cukup menarik baik tentang budaya di Lombok dan Bali, tentang politik, bahkan tentang rektor saya yang santer diisukan jadi menteri pun juga kita bahas dan mereka berdua tau. Hingga pada akhirnya mereka juga tau tujuan saya dalam perjalanan ini untuk mengunjungi lombok, sumbawa dan diakhiri dengan mengibarkan bendera merah putih 17 Agustus di puncak Rinjani, Lombok. Pak Brata menawarkan kepada saya untuk bermalam di rumahnya karena ketika tiba di Lombok, hari sudah gelap dan akan susah untuk mencari angkutan ke Gili Trawangan. Maka langsung saya terima tawaran itu. Lalu saya bersama pak Brata naik angkutan ke Mataram dan kita berpisah dengan pak Imam yang melanjutkan perjalanan ke Lombok Timur. Kita sudah saling bertukar kontak untuk menjaga tali silaturahmi.

Rumah pak Brata berada di pinggiran kota Mataram. Dia mempunyai bengkel di dekat rumahnya di pinggir jalan raya. Kami sampai di rumah pak Brata menjelang Isya. Banyak anjing berkeliaran dan cukup berisik karena tau kita sedang berjalan menuju rumah pak Brata. Kami di sambut oleh anjing-anjing di kampung tersebut. Melihat kondisi kampung tempat tinggal pak Brata, ada hal yang menarik yaitu kampung ini terdiri komunitas Muslim dan pemeluk Hindu dan rumah mereka berjajar dan berdampingan. Satu rumah muslim, sebelahnya rumah pemeluk Hindu dengan pura di halaman depan rumahnya. Lalu terdapat surau untuk orang Islam melakukan ibadah salat. Saya bermalam di teras depan rumah pak Brata. Sudah cukup bagi petualang seperti saya. Kami menghabiskan malam dengan berbincang bersama Pak Brata, Istri dan anak sulungnya yang kuliah di Universitas Mataram. Keluarga pak Brata pemeluk agama Hindu, namun di Mataram, Islam dan Hindu hidup berdampingan dan rukun. Seperti yang pak Brata bilang, di masjid kampungnya, pada saat itu hari jumat dan bertepatan dengan hari raya nyepi. Maka ketika biasanya umat muslim melakukan salat jumat dengan suara nyaring speaker masjid untuk menyiarkan khutbah, pada hari jumat yang bertepatan dengan hari raya nyepi itu masjid tidak mengeraskan suara speakernya untuk menghormati umat Hindu yang sedang merayakan nyepi. Keesokan hari, di pagi hari, pak Brata mengantarkan anaknya yang bungsu pergi sekolah. Pada saat itu hari jumat dan si bungsu mengenakan pakaian adat hindu. Kata pak Brata tiap hari jumat sekolah dasar di Mataram muridnya mengenakan pakaian adat. Yang Hindu mengenakan busana adat Hindu, yang Muslim mengenakan baju muslim.

Sungguh perjalanan saya cukup menyadarkan saya betapa kaya Indonesia dengan keberagaman kekayaan dan keberagamaan kebudayaan yang dimilikinya. Pada momen itu, saya yakin, bahwa nilai pluralisme yang menjadi karakter Indonesia yang semestinya, mampu secara akar rumput diterapkan di berbagai daerah di Indonesia seperti di Mataram, di kampung pak Brata di mana Islam dan Hindu sangat rukun dalam menjalani kehidupannya masing-masing. Bertolakbelakang dengan apa yang terjadi di daerah lain di Indonesia bahkan di Jakarta yang masih sering terjadi kebencian di antara umat beragama. Saya optimis, kedepannya Indonesia mampu menjadi bangsa plural yang memahami arti perbedaan dan keberagaman demi kesatuan NKRI. Hidup bangsa Indonesia!