Orlando, 2011. We are "Laskar Nusantara" (picture by: Afshan Javid,our friend from India)

Friday, March 8, 2013

Curhatan Anak HI: Episode "Pemimpin Impian Rakyat"

"If you want to change the party, lead it. If you want to change the country, lead it"

quotes itu gue dapet dari film Iron Lady di mana tokoh Airey Neave yang merupakan anggota partai konservatif memberi motivasi kepada Margaret untuk berani maju di pemilihan perdana Menteri. Sosok Margaret Thatcher di sini sangat menginspirasi. Dia seorang pemimpin yang decisive, cepat merespon. Margaret percaya bahwa kebanyakan orang pada zaman itu mengutamakan perasaan dan perasaan. People often ask "How are you feeling" dan Margaret percaya bahwa dia percaya dengan pikiran (thoughts) dan gagasan adalah yang penting karena semua hal terjadi semua impian terwujud pertama karena kita memikirkan itu dan membuat itu menjadi nyata.

Setuju dengan Margaret Thatcher yang pada saat itu memimpin Inggris selama 11,5 tahun dengan mengakhiri karirnya sebagai Perdana Menteri Inggris secara mengundurkan diri karena waktu itu Margaret kehilangan pendukungnya dalam partai sendiri. Margaret masih dengan sifat kepemimpinan yang kuat dan decisive memutuskan untuk mundur daripada maju kembali pada pemilu itu. Salah seorang tokoh yang menginspirasi dan menjadi kiblat buat para pemimpin. Pedoman untuk terinspirasi dan terjiwai untuk menjadi pemimpin suatu negara, pemimpin dalam merengkuh tujuan-tujuan tercapainya cita-cita.

Waktu pun sudah menunjukkan pukul 3.33 dini hari di hari sabtu tanggal 9 Maret 2013 dan gue masih nulis. Ditemani coke zero, crackers Ritz dan laptop jadul Acer aspire 4315 yang selalu setia menemani gue menulis. Menuliskan buah pikiran gue sehingga menjadi manfaat dan menjadi media pembelajaran bagi gue untuk terus semangat dalam menulis karena siapa tau suatu saat gue jadi salah satu penulis hebat dengan penjualan yang hebat pula dan pastinya dan yang paling utama ialah memberi kontribusi yang hebat untuk masyarakat lewat karya-karya gue. aamiin. Impian harus terus selalu diperjuangkan, bukan? serbuk sari tak akan menjadi madu tanpa lebah. Begitu pula mimpi, tak akan bisa terwujud tanpa adanya perjuangan yang terus diperjuangkan.

Ngobrol masalah pemimpin, dalam mewujudkan mimpi-mimpi pun sebenarnya juga bergantung gimana kita memimpin diri kita sendiri untuk terus berjuang memperjuangkan mimpi supaya terwujud. Iya kan? Jadi pemimpin harus punya cita-cita. Di tahun 2013 di mana ini saat-saat para politisi politisi kita saling bertarung di tahun politik. Berusaha merebut perhatian rakyat akan bagaimana kelanjutan nasib negara ini pada saat pergantian pemimpin tahun depan. Di luar pertarungan-pertarungan politik itu, rakyat memimpikan seorang pemimpin impian mereka. Tulisan gue ini juga bermula pada saat dua hari lalu gue baca koran Kompas yang telah melakukan survei kepada masyarakat tentang pemimpin seperti apa yang menjadi pemimpin impian mereka. Ketika gue baca hasil surveinya gue semacam terharu ketika sebagian besar rakyat kita memimpikan pemimpin yang jujur. Dalam hati gue timbul pertanyaan "separah inikah kekronisan kejujuran di negeri ini?" Akankah kekritisan kejujuran ini akan berlanjut di tahun depan dan di masa yang akan datang?

Dari situ bermula gue berpikir bahwa kita ngga hanya butuh pemimpin yang berwibawa dan pintar atau pun karismatik. Dari sini gue berpikir bahwa sudah saatnya impian masyarakat ini dicapai dengan munculnya sesosok pemimpin yang memiliki dua tipe kecerdasan. Apa yang gue maksud dengan dua tipe kecerdasan ini? dua kecerdasan itu adalah kecerdasan otak dan kecerdasan etika. Banyak aspek pemimpin tapi namanya manusia bukan ciptaan yang komplit dan harus memiliki segala aspek leadership yang dibutuhkan masyarakat. Dan di sinilah muncul pemikiran gue tentang pemimpin yang cerdas otak dan cerdas etika.

Kecerdasaan otak diperlukan oleh pemimpin negara karena akan banyak ide-ide dan buah pemikiran yang dibutuhkan untuk kelangsungan negara dan rakyatnya. Dalam hal menentukan kebijakan untuk rakyat misalnya. Pemimpin cerdas akan tahu momentum dan kecerdasaan otak memicunya untuk bersikap decisive sehingga kecerdasaan otak itu tak sia sia dan dampak kebijakan akan dirasakan oleh rakyat. Maraknya kasus korupsi membuat gue memunculkan suatu kesimpulan bahwa mereka yang melakukan hal keji seperti itu adalah orang yang memang memiliki kecerdasan otak tapi kurang cerdas etika. Kecerdasan otak diperlukan dan harus diseimbangkan dengan kecerdasan etika sehingga bisa mengontrol efek samping kecerdasaan otak dan kecenderungan untuk mendapat lebih dan rakus seperti para koruptor sehingga mengabaikan tindak tanduk etika dan seakan-akan melupakan kesengsaraan rakyat yang masih melanda rakyat di mana-mana. Pemimpin yang jujur akan hadir ketika dia memiliki suatu bentuk kecerdasan etika. Dia tahu bagaimana mengontrol kecerdasan otaknya dengan beretika. Sebenarnya simpel ya nasihat buat koruptor itu. Jangan mencuri. itu saja. Anak kecil saja patuh untuk tidak mencuri ketika dinasehati. Tapi kenapa koruptor tetap saja ada meski hukum berlaku yang bisa menjerat mereka. Benar-benar kecerdasaan etika yang tidak mereka miliki. Ironis.

Di samping hal itu semua gue tetep optimis kalau tahun depan pemimpin yang baru mampu membawa perubahan dan membendung efek efek samping demokrasi dan reformasi sehingga paradigma rakyat yang buruk tentang pemerintahan akan tereduksi sehingga bertransformasi menjadi optimisme kolektif untuk kemajuan kolektif. Kemajuan Indonesia Raya. Jangan hanya membuat rakyat terus mengimpikan sosok pemimpin impian mereka. Rakyat Indonesia akan memiliki sosok impian mereka. Gue yakin.

Sekali lagi nama gue Radiv Annaba dan ini perspektif gue. Terus selalu berkontribusi ya, wahai warga negara Indonesia. Kita bisa kok!


Curhatan Anak HI: Episode Bertemu Hatta Rajasa

Jakarta, hari Minggu 3 Maret 2013 gue membuka perspektif baru ketika mengetahui kalau hasil survey bilang 80% anak muda Indonesia itu benci politik.

Bima Arya Sugiarto, dosen Ilmu Politik gue di Paramadina yang sekaligus ketua DPP PAN mengungkapkan hal tersebut pada acara soft launching MATARA (Matahari Nusantara), sebuah organisasi kepemudaan. Mas Bima, begitu gue dan temen-temen biasa menyapa beliau, memberi opening speech dengan menjelaskan betapa ironisnya ketika pemuda-pemuda di Indonesia mulai apatis dengan politik karena kecenderungan media yang sering menampilkan politik kotor dari para politisi salah arah itu (baca: koruptor). Dan gue juga sudah menyangka hal itu dan ternyata gue satu paham dengan mas Bima. Bahkan dalam salah satu buku yang gue baca, merupakan konsekuensi reformasi di mana kita keluar dari masa orde baru ke masa demokrasi dan yang sebelumnya kasus tindakan korupsi itu semacam "terlindungi". Reformasi mungkin belum menjanjikan apa apa ketika kegencaran media menimpa pemikiran masyarakat awam yang mungkin minim menganalisis bahwa sebenarnya reformasi ke era demokrasi itulah yang dibutuhkan rakyat. Membuat orang-orang merindukan keromantisan jaman orde baru kalau Denny Indrayana bilang dalam buku "Indonesia Optimis". Apalagi kita punya anak muda yang juga merupakan unsur demografi emas yang menjanjikan di masa depan di mana spot-spot penting di negeri ini ada di tangan mereka mulai apatis, pesimis bahkan menjadi sinis dengan kondisi politik di negeri ini. Dengan angka yang mencapai sekitar 80% ketika ditanya tentang politik di Indonesia dan mereka membenci itu, dapat dilihat bahwa kita tidak perlulah melulu prihatin dengan kondisi seperti ini. Saatnya kita bergerak. Bukan untuk mengubah paradigma itu, tapi untuk mulai menyalakan lilin lilin sehingga para anak muda itu tidak melulu mengutuk kegelapan dalam hal ini adalah cara pandang dan pemikiran mereka tentang politik di negeri penuh pulau insecure ini #eh.

Membaca berita, menonton televisi dengan kasus kasus korupsi dan sejenisnya semakin membuat paradigma itu terus menerus menguat dan kemungkinan besar akan mengakibatkan apatisme anak muda kian berlanjut dalam menanggapi politik di Indonesia. Dan di acara soft launching organisasi kepemudaan ini gue jadi sadar bahwa ini sudah saatnya kita melangkah untuk berkontribusi sebagai anak muda yang unggul. Anak muda yang nantinya akan menjadi kontributor pembuat nyata mimpi-mimpi rakyat Indonesia, the Indonesian Dream. Mas Bima juga bilang dengan pembentukan organisasi Matahari Nusantara ini, anak muda yang 20% itu akan semakin berkembang dan diberdayakan serta dicerahkan dengan segala pengkaderan penuh dari orang-orang yang mumpuni dalam bidangnya masing-masing. Mimpi anak muda yang mungkin sedikit mainstream ketika ditanya mereka banyak yang ingin jadi pengusaha, entrepreneur, CEO dan hal hal seperti itu saja tapi jarang sekali. sekali lagi jarang sekali dari mereka yang bercita-cita menjadi politisi hebat, bersih dan cerdas. Dan gue akan menjelaskan arti cerdas politis di episode berikutnya selama pemikiran gue ini terus berkembang. Kita butuh politisi muda yang mampu memberi contoh kepada anak muda dengan kapabilitasnya sehingga sanggup mengurangi prosentase apatisme dan sinisme akan politik dan membalik paradigma bahwa anak muda selalu menganggap politik di Indonesia itu yang jelek jelek saja. Mari bersama-sama berkontribusi.

Dan di acara soft launching tersebut turut hadir Menteri Koordinator Perekonomian Republik Indonesia, Bapak Hatta Rajasa. Udah beberapa tokoh besar negeri ini yang udah gue temui dan alhamdulillah bersalaman juga meski gue jarang berfoto-foto karena cukup dengan mendapat dan pernah dekat jaraknya dengan para tokoh terlebih berkesempatan bersalaman pun udah lumayan menginspirasi bagi gue. Jarak gue cukup dekat waktu pak Hatta memberi speech. Beliau menjadi menteri pertama yang gue temui dan jabat tangannya. Bangga. bukan karena apa, gue menjadi semakin semangat untuk mengikuti jejak beliau. Mengabdi menjadi menteri membantu menyelesaikan masalah-masalah yang terus menerus tereskalasi di jaman reformasi ini. Benar-benar kita butuh pemimpin yang tangguh dan tidak membuat pesimis anak muda kita, demografi emas bangsa di masa yang akan datang.
Berikut foto-foto yang gue ambil menggunakan kamera sederhana ponsel gue
Pak Hatta Rajasa is giving his speech. Gue di depannya pas

dari kiri, mas Bima Arya, pak Adhyaksa Dault, pak Hatta Rajasa, dan Yulia Rahman (dengan mic nya)


Gue Radiv Annaba dan itu pengalaman beserta perspektif gue. Mari bercita-cita dan wujudkan cita cita Indonesia :)

Friday, March 1, 2013

Curhatan Anak HI: Episode "Tembok Imajiner"

Gue nyadar kalau kita sebagai mahasiswa udah saatnya adaptasi dengan pola dan cara belajar. Cara belajar yang didominasi oleh metode hafalan. Hafalan dan hafalan. Udah saatnya di dunia perkuliahan dan perkampusan kita beradaptasi. udah bukan jamannya lagi yang namanya hafalan catatan saat mau kuis. Benar bukan? This is not high school anymore. Karena cara yang seperti itu memang mungkin ngga akan menghalangi lo buat dapet IP bagus. Cuman menurut gue itu udah ngga "kompatibel" dengan dunia perkuliahan. Ibarat teknologi penyimpanan data nih, udah saatnya kita "move on" dari disket ke flashdrive. Sama halnya dengan cara belajar kita. Intinya menyesuaikan supaya kompatibel sehingga pencapaian kita dalam berporses bisa maksimal. Ya nggak sih?

Kuliah itu, khususnya di jurusan Hubungan Internasional nih, baca buku itu fundamental karena ketika di kelas, dalam proses perkuliahan, mahasiswa dituntut untuk kritis. Karena dengan begitu setidaknya mereka telah melalui proses berpikir aktif dan "engage" dengan materi perkuliahan itu. Namun, ada namunnya nih, hehe. Namun kritis itu nggak hanya asal ceplas ceplos aja kalo orang Jawa bilang. Kritis itu bukan mereka yang selalu "always be the one" ngejawab dan nanya ini itu ke dosen. Menurut gue, kritis adalah mereka yang selalu membaca dan memperluas pengetahuannya lalu bertanya dan menjawab di kelas dengan pemikiran yang tersampaikan secara terstruktur dan berkualitas. Sekali lagi itu terjadi karena dia membaca. membaca dan membaca. Iqra :)

So basically, jangan dibiasakan melakukan hal-hal kritis tapi dangkal substansinya. Dan sejauh pengamatan gue, itu terjadi karena cara belajar mereka yang ngga kompatibel. Yang hanya peduli bagaimana dapet IP tinggi buat dirinya. Buat gue pribadi, cara yang seperti itu yang gue hindari. Itu bahkan bisa buat guer hanya peduli gimana IP gue bagus dan mentok sampe di situ. IP bagus itu penting. Penting banget dan ga perlu munafik lah. Tapi, gue ngga mau jadi seperti mereka yang pragmatis dengan IP (dengan cara belajar yang ngga kompatibel ya) tapi jadi apatis dengan hal-hal lain.

Apakah hal-hal lain yang dimaksud itu?

Hal-hal lain yang gue maksud di sini adalah "something" di luar ke-pragmatis-an itu di mana gue pada akhirnya menemukan banyak hal di dunia kampus yang sangat potensial bisa membantu gue berkembang sebagai mahasiswa. Kalo kata motivator sih mereka sebut dengan "soft skill". Soft skill itu bisa seperti giman kita membawa diri kita. Gimana kita mengaktualisasikan di dunia nyata bagaimana diri kita berhadapan dengan lingkungan. Seperti gimana kita dalam bersosialisasi dan berinteraksi dengan masyarakat civitas academica. Nah dari sini gue mau berbagi sama kalian dengan ngejelasin ke kalian kenapa mahasiswa yang seperti gue sebut di awal itu nggak kompatibel meskipun tetep lo bisa ngedapetin IP bagus dengan cara seperti itu. Suatu cara dan pola belajar di man mereka sangat gencar menghafal catatan atau apalah sehingga menutup "mata" mereka dengan lingkungan luar. Itu poin pertama. Kedua, menurut pengamatan gue sejauh ini, akan timbul kecenderungan di mana mereka merasa sedang berada di sebuah kompetisi di mana ketika IP mereka berada di atas dalam artian lebih bagus dari orang yang masuk dalam kompetisi mereka sendiri akan timbul perasaan puas dan merasa telah mengalahkan orang itu. Dan kecenderungan lebih lanjutnya lagi, akan timbul sikap takabur (habis dengerin khutbah jumat jadi pake terminologi takabur.hehe) ketika mereka secara jelas menertawakan orang yang IP nya di bawah dia. Ditambah dengan ekspresi yang sumringah kalau orang jawa bilang. Dan hal kaya gini yang gue saranin buat lo hindari di dunia perkuliahan men.

Lalu apa hubungannya dengan soft skill yang gue bilang tadi?

Kalo dengan arti soft skill yang gue bilang tadi, ketika orang-orang yang memakai cara yang tidak kompatibel itu, mereka bakal kesulitan untuk "mingle" (berbaur) dengan yang lain karena cara belajar mereka itu menuntut mereka untuk ngedapetin IP bagus dan semacem mengabaikan "hal-hal lain" itu tadi. Yang mereka peduli adalah sebuah "kompetisi IP" yang mereka buat dalam alam bawah sadar mereka. Mereka susah berbaur dan nyambung begitu juga dengan orang lain yang susah berbaur karena sikap mereka sendiri yang seakan-akan membangun "tembok imajiner". Dan faktanya memang begitu. Contoh real-nya ya misalnya, susah cari cari temen kalau dosen ngasih tugas berkelompok. Lalu susah bagaimana bekerjasama sehingga kooperatif dengan teman satu kelompoknya. Kalau udah gitu, susah kan dapet IP bagus? salah siapa coba?hehe. Yang mereka lakukan adalah dengan bergabung dengan teman kelompok yang mudah "mingle" deh ujung-ujungnya. Jadi bergantung kan? tapi tetep aja ajeg dengan kepragmatisan dan kompetisi IP mereka.

Jadi kalian sendiri yang memilih gimana cara yang pas dan kompatibel sama lo buat menghadapi dunia perkuliahan ini. Gue cuma ngejelasin apa yang gue liat melalui pengamatan gue bro. Kalo saran gue nih bro, kejar IP tapi dengan cara yang kompatibel bro. Tetep berbaur dan gaul. cara lo berbaur itu penting. Toh kita ini makhluk sosial kan? Lalu gue ingetin (sekalian ngingetin gue juga nih bro) buar sering-sering baca. Jadikan membaca itu sebuah kebiasaan (habit) karena dengan begitu ketika lo kritis, kekritisan itu substantif dan ngga dangkal bro. Soft skill itu penting kan? hehe have fun you guys dan tetep disukuri ya bisa kuliah. Ini demokrasi jadi suka suka kalian kalau mau mencela tulisan gue ini :) terima kasih :)
(maap kebanyakan emot gue emang alay sih :p)

Friday, March 8, 2013

Curhatan Anak HI: Episode "Pemimpin Impian Rakyat"

"If you want to change the party, lead it. If you want to change the country, lead it"

quotes itu gue dapet dari film Iron Lady di mana tokoh Airey Neave yang merupakan anggota partai konservatif memberi motivasi kepada Margaret untuk berani maju di pemilihan perdana Menteri. Sosok Margaret Thatcher di sini sangat menginspirasi. Dia seorang pemimpin yang decisive, cepat merespon. Margaret percaya bahwa kebanyakan orang pada zaman itu mengutamakan perasaan dan perasaan. People often ask "How are you feeling" dan Margaret percaya bahwa dia percaya dengan pikiran (thoughts) dan gagasan adalah yang penting karena semua hal terjadi semua impian terwujud pertama karena kita memikirkan itu dan membuat itu menjadi nyata.

Setuju dengan Margaret Thatcher yang pada saat itu memimpin Inggris selama 11,5 tahun dengan mengakhiri karirnya sebagai Perdana Menteri Inggris secara mengundurkan diri karena waktu itu Margaret kehilangan pendukungnya dalam partai sendiri. Margaret masih dengan sifat kepemimpinan yang kuat dan decisive memutuskan untuk mundur daripada maju kembali pada pemilu itu. Salah seorang tokoh yang menginspirasi dan menjadi kiblat buat para pemimpin. Pedoman untuk terinspirasi dan terjiwai untuk menjadi pemimpin suatu negara, pemimpin dalam merengkuh tujuan-tujuan tercapainya cita-cita.

Waktu pun sudah menunjukkan pukul 3.33 dini hari di hari sabtu tanggal 9 Maret 2013 dan gue masih nulis. Ditemani coke zero, crackers Ritz dan laptop jadul Acer aspire 4315 yang selalu setia menemani gue menulis. Menuliskan buah pikiran gue sehingga menjadi manfaat dan menjadi media pembelajaran bagi gue untuk terus semangat dalam menulis karena siapa tau suatu saat gue jadi salah satu penulis hebat dengan penjualan yang hebat pula dan pastinya dan yang paling utama ialah memberi kontribusi yang hebat untuk masyarakat lewat karya-karya gue. aamiin. Impian harus terus selalu diperjuangkan, bukan? serbuk sari tak akan menjadi madu tanpa lebah. Begitu pula mimpi, tak akan bisa terwujud tanpa adanya perjuangan yang terus diperjuangkan.

Ngobrol masalah pemimpin, dalam mewujudkan mimpi-mimpi pun sebenarnya juga bergantung gimana kita memimpin diri kita sendiri untuk terus berjuang memperjuangkan mimpi supaya terwujud. Iya kan? Jadi pemimpin harus punya cita-cita. Di tahun 2013 di mana ini saat-saat para politisi politisi kita saling bertarung di tahun politik. Berusaha merebut perhatian rakyat akan bagaimana kelanjutan nasib negara ini pada saat pergantian pemimpin tahun depan. Di luar pertarungan-pertarungan politik itu, rakyat memimpikan seorang pemimpin impian mereka. Tulisan gue ini juga bermula pada saat dua hari lalu gue baca koran Kompas yang telah melakukan survei kepada masyarakat tentang pemimpin seperti apa yang menjadi pemimpin impian mereka. Ketika gue baca hasil surveinya gue semacam terharu ketika sebagian besar rakyat kita memimpikan pemimpin yang jujur. Dalam hati gue timbul pertanyaan "separah inikah kekronisan kejujuran di negeri ini?" Akankah kekritisan kejujuran ini akan berlanjut di tahun depan dan di masa yang akan datang?

Dari situ bermula gue berpikir bahwa kita ngga hanya butuh pemimpin yang berwibawa dan pintar atau pun karismatik. Dari sini gue berpikir bahwa sudah saatnya impian masyarakat ini dicapai dengan munculnya sesosok pemimpin yang memiliki dua tipe kecerdasan. Apa yang gue maksud dengan dua tipe kecerdasan ini? dua kecerdasan itu adalah kecerdasan otak dan kecerdasan etika. Banyak aspek pemimpin tapi namanya manusia bukan ciptaan yang komplit dan harus memiliki segala aspek leadership yang dibutuhkan masyarakat. Dan di sinilah muncul pemikiran gue tentang pemimpin yang cerdas otak dan cerdas etika.

Kecerdasaan otak diperlukan oleh pemimpin negara karena akan banyak ide-ide dan buah pemikiran yang dibutuhkan untuk kelangsungan negara dan rakyatnya. Dalam hal menentukan kebijakan untuk rakyat misalnya. Pemimpin cerdas akan tahu momentum dan kecerdasaan otak memicunya untuk bersikap decisive sehingga kecerdasaan otak itu tak sia sia dan dampak kebijakan akan dirasakan oleh rakyat. Maraknya kasus korupsi membuat gue memunculkan suatu kesimpulan bahwa mereka yang melakukan hal keji seperti itu adalah orang yang memang memiliki kecerdasan otak tapi kurang cerdas etika. Kecerdasan otak diperlukan dan harus diseimbangkan dengan kecerdasan etika sehingga bisa mengontrol efek samping kecerdasaan otak dan kecenderungan untuk mendapat lebih dan rakus seperti para koruptor sehingga mengabaikan tindak tanduk etika dan seakan-akan melupakan kesengsaraan rakyat yang masih melanda rakyat di mana-mana. Pemimpin yang jujur akan hadir ketika dia memiliki suatu bentuk kecerdasan etika. Dia tahu bagaimana mengontrol kecerdasan otaknya dengan beretika. Sebenarnya simpel ya nasihat buat koruptor itu. Jangan mencuri. itu saja. Anak kecil saja patuh untuk tidak mencuri ketika dinasehati. Tapi kenapa koruptor tetap saja ada meski hukum berlaku yang bisa menjerat mereka. Benar-benar kecerdasaan etika yang tidak mereka miliki. Ironis.

Di samping hal itu semua gue tetep optimis kalau tahun depan pemimpin yang baru mampu membawa perubahan dan membendung efek efek samping demokrasi dan reformasi sehingga paradigma rakyat yang buruk tentang pemerintahan akan tereduksi sehingga bertransformasi menjadi optimisme kolektif untuk kemajuan kolektif. Kemajuan Indonesia Raya. Jangan hanya membuat rakyat terus mengimpikan sosok pemimpin impian mereka. Rakyat Indonesia akan memiliki sosok impian mereka. Gue yakin.

Sekali lagi nama gue Radiv Annaba dan ini perspektif gue. Terus selalu berkontribusi ya, wahai warga negara Indonesia. Kita bisa kok!


Curhatan Anak HI: Episode Bertemu Hatta Rajasa

Jakarta, hari Minggu 3 Maret 2013 gue membuka perspektif baru ketika mengetahui kalau hasil survey bilang 80% anak muda Indonesia itu benci politik.

Bima Arya Sugiarto, dosen Ilmu Politik gue di Paramadina yang sekaligus ketua DPP PAN mengungkapkan hal tersebut pada acara soft launching MATARA (Matahari Nusantara), sebuah organisasi kepemudaan. Mas Bima, begitu gue dan temen-temen biasa menyapa beliau, memberi opening speech dengan menjelaskan betapa ironisnya ketika pemuda-pemuda di Indonesia mulai apatis dengan politik karena kecenderungan media yang sering menampilkan politik kotor dari para politisi salah arah itu (baca: koruptor). Dan gue juga sudah menyangka hal itu dan ternyata gue satu paham dengan mas Bima. Bahkan dalam salah satu buku yang gue baca, merupakan konsekuensi reformasi di mana kita keluar dari masa orde baru ke masa demokrasi dan yang sebelumnya kasus tindakan korupsi itu semacam "terlindungi". Reformasi mungkin belum menjanjikan apa apa ketika kegencaran media menimpa pemikiran masyarakat awam yang mungkin minim menganalisis bahwa sebenarnya reformasi ke era demokrasi itulah yang dibutuhkan rakyat. Membuat orang-orang merindukan keromantisan jaman orde baru kalau Denny Indrayana bilang dalam buku "Indonesia Optimis". Apalagi kita punya anak muda yang juga merupakan unsur demografi emas yang menjanjikan di masa depan di mana spot-spot penting di negeri ini ada di tangan mereka mulai apatis, pesimis bahkan menjadi sinis dengan kondisi politik di negeri ini. Dengan angka yang mencapai sekitar 80% ketika ditanya tentang politik di Indonesia dan mereka membenci itu, dapat dilihat bahwa kita tidak perlulah melulu prihatin dengan kondisi seperti ini. Saatnya kita bergerak. Bukan untuk mengubah paradigma itu, tapi untuk mulai menyalakan lilin lilin sehingga para anak muda itu tidak melulu mengutuk kegelapan dalam hal ini adalah cara pandang dan pemikiran mereka tentang politik di negeri penuh pulau insecure ini #eh.

Membaca berita, menonton televisi dengan kasus kasus korupsi dan sejenisnya semakin membuat paradigma itu terus menerus menguat dan kemungkinan besar akan mengakibatkan apatisme anak muda kian berlanjut dalam menanggapi politik di Indonesia. Dan di acara soft launching organisasi kepemudaan ini gue jadi sadar bahwa ini sudah saatnya kita melangkah untuk berkontribusi sebagai anak muda yang unggul. Anak muda yang nantinya akan menjadi kontributor pembuat nyata mimpi-mimpi rakyat Indonesia, the Indonesian Dream. Mas Bima juga bilang dengan pembentukan organisasi Matahari Nusantara ini, anak muda yang 20% itu akan semakin berkembang dan diberdayakan serta dicerahkan dengan segala pengkaderan penuh dari orang-orang yang mumpuni dalam bidangnya masing-masing. Mimpi anak muda yang mungkin sedikit mainstream ketika ditanya mereka banyak yang ingin jadi pengusaha, entrepreneur, CEO dan hal hal seperti itu saja tapi jarang sekali. sekali lagi jarang sekali dari mereka yang bercita-cita menjadi politisi hebat, bersih dan cerdas. Dan gue akan menjelaskan arti cerdas politis di episode berikutnya selama pemikiran gue ini terus berkembang. Kita butuh politisi muda yang mampu memberi contoh kepada anak muda dengan kapabilitasnya sehingga sanggup mengurangi prosentase apatisme dan sinisme akan politik dan membalik paradigma bahwa anak muda selalu menganggap politik di Indonesia itu yang jelek jelek saja. Mari bersama-sama berkontribusi.

Dan di acara soft launching tersebut turut hadir Menteri Koordinator Perekonomian Republik Indonesia, Bapak Hatta Rajasa. Udah beberapa tokoh besar negeri ini yang udah gue temui dan alhamdulillah bersalaman juga meski gue jarang berfoto-foto karena cukup dengan mendapat dan pernah dekat jaraknya dengan para tokoh terlebih berkesempatan bersalaman pun udah lumayan menginspirasi bagi gue. Jarak gue cukup dekat waktu pak Hatta memberi speech. Beliau menjadi menteri pertama yang gue temui dan jabat tangannya. Bangga. bukan karena apa, gue menjadi semakin semangat untuk mengikuti jejak beliau. Mengabdi menjadi menteri membantu menyelesaikan masalah-masalah yang terus menerus tereskalasi di jaman reformasi ini. Benar-benar kita butuh pemimpin yang tangguh dan tidak membuat pesimis anak muda kita, demografi emas bangsa di masa yang akan datang.
Berikut foto-foto yang gue ambil menggunakan kamera sederhana ponsel gue
Pak Hatta Rajasa is giving his speech. Gue di depannya pas

dari kiri, mas Bima Arya, pak Adhyaksa Dault, pak Hatta Rajasa, dan Yulia Rahman (dengan mic nya)


Gue Radiv Annaba dan itu pengalaman beserta perspektif gue. Mari bercita-cita dan wujudkan cita cita Indonesia :)

Friday, March 1, 2013

Curhatan Anak HI: Episode "Tembok Imajiner"

Gue nyadar kalau kita sebagai mahasiswa udah saatnya adaptasi dengan pola dan cara belajar. Cara belajar yang didominasi oleh metode hafalan. Hafalan dan hafalan. Udah saatnya di dunia perkuliahan dan perkampusan kita beradaptasi. udah bukan jamannya lagi yang namanya hafalan catatan saat mau kuis. Benar bukan? This is not high school anymore. Karena cara yang seperti itu memang mungkin ngga akan menghalangi lo buat dapet IP bagus. Cuman menurut gue itu udah ngga "kompatibel" dengan dunia perkuliahan. Ibarat teknologi penyimpanan data nih, udah saatnya kita "move on" dari disket ke flashdrive. Sama halnya dengan cara belajar kita. Intinya menyesuaikan supaya kompatibel sehingga pencapaian kita dalam berporses bisa maksimal. Ya nggak sih?

Kuliah itu, khususnya di jurusan Hubungan Internasional nih, baca buku itu fundamental karena ketika di kelas, dalam proses perkuliahan, mahasiswa dituntut untuk kritis. Karena dengan begitu setidaknya mereka telah melalui proses berpikir aktif dan "engage" dengan materi perkuliahan itu. Namun, ada namunnya nih, hehe. Namun kritis itu nggak hanya asal ceplas ceplos aja kalo orang Jawa bilang. Kritis itu bukan mereka yang selalu "always be the one" ngejawab dan nanya ini itu ke dosen. Menurut gue, kritis adalah mereka yang selalu membaca dan memperluas pengetahuannya lalu bertanya dan menjawab di kelas dengan pemikiran yang tersampaikan secara terstruktur dan berkualitas. Sekali lagi itu terjadi karena dia membaca. membaca dan membaca. Iqra :)

So basically, jangan dibiasakan melakukan hal-hal kritis tapi dangkal substansinya. Dan sejauh pengamatan gue, itu terjadi karena cara belajar mereka yang ngga kompatibel. Yang hanya peduli bagaimana dapet IP tinggi buat dirinya. Buat gue pribadi, cara yang seperti itu yang gue hindari. Itu bahkan bisa buat guer hanya peduli gimana IP gue bagus dan mentok sampe di situ. IP bagus itu penting. Penting banget dan ga perlu munafik lah. Tapi, gue ngga mau jadi seperti mereka yang pragmatis dengan IP (dengan cara belajar yang ngga kompatibel ya) tapi jadi apatis dengan hal-hal lain.

Apakah hal-hal lain yang dimaksud itu?

Hal-hal lain yang gue maksud di sini adalah "something" di luar ke-pragmatis-an itu di mana gue pada akhirnya menemukan banyak hal di dunia kampus yang sangat potensial bisa membantu gue berkembang sebagai mahasiswa. Kalo kata motivator sih mereka sebut dengan "soft skill". Soft skill itu bisa seperti giman kita membawa diri kita. Gimana kita mengaktualisasikan di dunia nyata bagaimana diri kita berhadapan dengan lingkungan. Seperti gimana kita dalam bersosialisasi dan berinteraksi dengan masyarakat civitas academica. Nah dari sini gue mau berbagi sama kalian dengan ngejelasin ke kalian kenapa mahasiswa yang seperti gue sebut di awal itu nggak kompatibel meskipun tetep lo bisa ngedapetin IP bagus dengan cara seperti itu. Suatu cara dan pola belajar di man mereka sangat gencar menghafal catatan atau apalah sehingga menutup "mata" mereka dengan lingkungan luar. Itu poin pertama. Kedua, menurut pengamatan gue sejauh ini, akan timbul kecenderungan di mana mereka merasa sedang berada di sebuah kompetisi di mana ketika IP mereka berada di atas dalam artian lebih bagus dari orang yang masuk dalam kompetisi mereka sendiri akan timbul perasaan puas dan merasa telah mengalahkan orang itu. Dan kecenderungan lebih lanjutnya lagi, akan timbul sikap takabur (habis dengerin khutbah jumat jadi pake terminologi takabur.hehe) ketika mereka secara jelas menertawakan orang yang IP nya di bawah dia. Ditambah dengan ekspresi yang sumringah kalau orang jawa bilang. Dan hal kaya gini yang gue saranin buat lo hindari di dunia perkuliahan men.

Lalu apa hubungannya dengan soft skill yang gue bilang tadi?

Kalo dengan arti soft skill yang gue bilang tadi, ketika orang-orang yang memakai cara yang tidak kompatibel itu, mereka bakal kesulitan untuk "mingle" (berbaur) dengan yang lain karena cara belajar mereka itu menuntut mereka untuk ngedapetin IP bagus dan semacem mengabaikan "hal-hal lain" itu tadi. Yang mereka peduli adalah sebuah "kompetisi IP" yang mereka buat dalam alam bawah sadar mereka. Mereka susah berbaur dan nyambung begitu juga dengan orang lain yang susah berbaur karena sikap mereka sendiri yang seakan-akan membangun "tembok imajiner". Dan faktanya memang begitu. Contoh real-nya ya misalnya, susah cari cari temen kalau dosen ngasih tugas berkelompok. Lalu susah bagaimana bekerjasama sehingga kooperatif dengan teman satu kelompoknya. Kalau udah gitu, susah kan dapet IP bagus? salah siapa coba?hehe. Yang mereka lakukan adalah dengan bergabung dengan teman kelompok yang mudah "mingle" deh ujung-ujungnya. Jadi bergantung kan? tapi tetep aja ajeg dengan kepragmatisan dan kompetisi IP mereka.

Jadi kalian sendiri yang memilih gimana cara yang pas dan kompatibel sama lo buat menghadapi dunia perkuliahan ini. Gue cuma ngejelasin apa yang gue liat melalui pengamatan gue bro. Kalo saran gue nih bro, kejar IP tapi dengan cara yang kompatibel bro. Tetep berbaur dan gaul. cara lo berbaur itu penting. Toh kita ini makhluk sosial kan? Lalu gue ingetin (sekalian ngingetin gue juga nih bro) buar sering-sering baca. Jadikan membaca itu sebuah kebiasaan (habit) karena dengan begitu ketika lo kritis, kekritisan itu substantif dan ngga dangkal bro. Soft skill itu penting kan? hehe have fun you guys dan tetep disukuri ya bisa kuliah. Ini demokrasi jadi suka suka kalian kalau mau mencela tulisan gue ini :) terima kasih :)
(maap kebanyakan emot gue emang alay sih :p)